onmousedown="return false" oncontextmenu="return false" onselectstart="return false"

Tuesday, May 11, 2010

Resensi Novel Me vs High Heels


Aku vs Sepatu Hak Tinggi! - Me Versus High Heels!


Pengarang : Maria Ardelia

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Terbit : Juni 2004

Halaman : 360

Dimensi buku : 13.5 x 20 cm




Novel ini dikarang oleh Maria Ernesta Ardelia Purwaningrum alias Mardel. Gadis belia, ramah dan cerdas ini lahir tanggal 7 November 1985 di Yogyakarta. Mardel lahir dari pasangan O.C Harry Pudjiatmoko dan Benedicta Fronti Winarshi dan saat ini ia sedang menjalani pendidikan kedokteran di Universitas Kristen Indonesia. Saat menulis novel Me vs High Heels Mardel masih duduk di bangku kelas tiga SMA St. Theresia. Sejak kecil ia memang senang membaca novel dari berbagai pengarang diantaranya novel karangan Shakespeare, Meg Cabbot dan Shope Kinsella.

Novel yang berjudul Me versus High Heels ini dapat dikategorikan sebagai novel fiksi. Novel ini telah terjual hingga cetakan ke delapan. Novel ini dinilai cukup sukses sehingga diangkat ke layar lebar dengan judul dan sebagian besar alur cerita yang sama. Film tersebut disutradarai oleh Pingkan Utari dan dibintangi oleh Ayushita, Hengky Kurniawan, Nuri Maulida, Dwi Andhika, Ardina Rasti, dan Raffi Ahmad. Naskah filmnya pun ditulis sendiri oleh Mardel. Setelah itu karena film ini banyak digemari oleh para remaja, maka dibuatlah serial TV dengan pemeran yang sama. Tahun 2006 Mardel mengeluarkan kumpulan cerpen teenlit berjudul Idolamu ? Itu Aku!

Plot cerita pada novel Me vs High Heels cukup sederhana. Sasha adalah cewek tomboi yang suka basket, sepak bola, dan kegiatan-kegiatan yang lebih banyak didominasi oleh pria. Sasha juga tidak suka memakai sepatu hak tinggi. Ia terbiasa tampil atau berdandan seenaknya saja, bicara ceplas-ceplos dan tidak ingin tahu omongan orang lain mengenai dirinya. Sikap itu membuat orangtua dan sahabatnya, Arnold dan Lola di sekolah geleng - geleng kepala namun Sasha tetap tak peduli. Sikap cueknya terbukti dalam tingkah lakunya sehari – hari seperti kebiasaanya buang angin sembarangan bahkan ketika di depan umum. Padahal sebagai seorang gadis, teman-teman yang sebayanya sudah mulai memikirkan penampilan yang cantik untuk memikat lawan jenis.

Sasha bersahabat dengan Ronald dan Lola. Mereka bertiga bersekolah di SMU yang sama. Suatu hari, saat Sasha sedang makan malam bersama dengan kedua orang tuanya, Sasha tidak sengaja menabrak seorang pria yang mirip dengan idolanya. Sampai dirumah pun dia masih mengingat-ingat sosok pria tersebut. Saat dia bercerita hal tersebut kepada Dondon, Sasha pun mengetahui bahwa pria itu adalah Arnold yang ternyata adalah saudara tiri Dondon. Dondon juga memberitahukan tipe gadis yang disukai oleh Arnold. Arnold menyukai gadis feminim, suka dandan, dan suka memakai sepatu highheels.

Tanpa disadari, sejak saat itu Sasha ternyata telah menaruh hati pada Arnold.

Setelah mengetahui tipe gadis yang disukai Arnold, Sasha pun menceritakan kepada Lola dan Ronald. Awalnya Lola tidak menyetujui niat Sasha untuk merubah penampilannya. Namun akhirnya Lola pun mendukung Sasha untuk merubah penampilannya, mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Saking jatuh cintanya, Sasha sampai rela berubah jadi cewek yang disukai Arnold. Sasha belajar menjadi gadis feminin, suka dandan, dan senang memakai high heels, alias sepatu hak tinggi, Ia pun tak berani mengaku suka basket . Perlahan – lahan Lola mengajari Sasha menjadi gadis yang seutuhnya. Hal tersulit bagi Sasha adalah saat dia harus belajar memakai sepatu hak tinggi. Namun karena kegigihanya, Sasha pun berhasil menjadi seorang cewek yang feminim.

Sayang, meskipun ia telah melakukan segalanya, bahkan mengorbankan kesenangan- selama ini, Arnold ternyata tidak benar-benar jatuh cinta padanya. Di pesta ulang tahunnya, Arnold menyatakan bahwa dia menyukai seorang gadis bernama Dina. Hancurlah perasaan Sasha. Segala pengorbanan Sasha sia-sia. Sampai pada akhirnya, dia menyadari bahwa ada pria lain yang jauh lebih mencintai dirinya apa adanya. Pria itu adalah Ronald, karena ia mengerti kalau penampilan tomboi Sasha itu disebabkan oleh sebuah trauma. Kakak perempuannya yang feminim tewas gara-gara diperkosa sekelompok pemuda jalanan. Mereka pun memutuskan untuk berpacaran.

Dengan akhir cerita yang tidak diduga seperti ini, membuat para pembaca menjadi penasaran saat membaca novel ini. Karena banyak kejadian-kejadian yang tak terduga ada di dalam cerita. Seperti halnya, alasan Sasha yang tidak ingin menjadi seorang cewek yang feminim. Itu terjadi karena dia trauma akan kejadian di masa lampau yang menimpa kakaknya.

Bahasa yang digunakan oleh Maria Ardelia dalam menulis novel ini mudah dimengerti karena menggunakan bahasa yang sederhana dan bercirikan anak muda. Alur cerita yang ada pun tidak bertele – tele sehingga pembaca yang memang ditujukan untuk kalangan remaja dapat dengan mudah memahami pesan moral yang ingin disampaikan oleh penulis. Kekuatan cerita ada pada karakter Sasha yang mudah terpengaruh dan berubah 180 derajat setelah bertemu dengan pria tampan sehingga kemudian menjadi sosok gadis yang feminim.

Namun novel ini juga memiliki kekurangan yaitu tokoh Ronald tidak memiliki porsi yang cukup / kurang menonjol sebagai tokoh pria kedua dalam cerita. Selain itu pada bagian akhir cerita kurang dramatis diceritakan kisah antara Sasha dan Ronald.

Dalam novel ini, Maria Ardelia ingin menyampaikan kepada para pembacanya, bahwa walaupun cinta itu dapat merubah segalanya tetapi dengan mencintai seseorang bukan berarti harus merubah orang itu sepenuhnya. Kita harus bisa mencintai orang dengan apa adanya.

1 comment:

Blog ini masih butuh saran dan kritik.
Oleh karena itu dimohonkan kepada siapa saja yang bersedia untuk memberikan komentar, baik berupa saran maupun kritik yang membangun untuk blog ini.
Terimakasih.