onmousedown="return false" oncontextmenu="return false" onselectstart="return false"

Friday, October 30, 2009

POLIGAMI DALAM ISLAM

1.1 Definisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia :
Poligami ialah suatu keadaan dimana pria beristri lebih dari satu (poligini) dalam islam merupakan praktik yang diperbolehkan (Mubah), tidak larang namun tidak dianjurkan. Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya (Surat an-Nisa ayat 3 ) :
“ “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” ”


1.2 Ragam pandangan

Beberapa ulama kontemporer seperti Syekh Muhammad Abduh , Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan (ketiganya ulama terkemuka Al Azhar(Mesir)) lebih memilih memperketat penafsirannya. Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu (tahun 1899), memilih mengharamkan poligami. Syekh Muhammad Abduh mengatakan: Haram berpoligami bagi seseorang yang merasa khawatir akan berlaku tidak adil. Saat ini negara Islam yang mengharamkan poligami hanya Maroko. Namun sebagian besar negara-negara Islam di dunia hingga kini tetap membolehkan poligami, termasuk Undang-Undang Mesir dengan syarat sang pria harus menyertakan slip gajinya.


2.3 Praktik poligami oleh Nabi Muhammad

Nabi Muhammad, nabi utama agama Islam melakukan praktik poligami pada delapan tahun sisa hidupnya, sebelumnya ia beristri hanya satu orang selama 28 tahun. Setelah istrinya saat itu meninggal (Khadijah) barulah ia menikah dengan beberapa wanita. Kebanyakan dari mereka yang diperistri Muhammad adalah janda mati, kecuali Aisyah (putri sahabatnya Abu Bakar).
Dalam kitab Ibn al-Atsir, sikap beristeri lebih dari satu wanita yang dilakukannya adalah upaya transformasi sosial. Mekanisme beristeri lebih dari satu wanita yang diterapkan Nabi adalah strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi Feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.
Sebaliknya, Nabi membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam beristeri lebih dari satu wanita.
Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.


1.3 Kontroversi Poligami oleh Ali bin Abi Thalib

Muhammad marah besar ketika mendengar putrinya, Fatimah Az-Zahra, akan dimadu olehAli bin Abi Thalib. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru:
“ Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga. ”
Penentang poligami dari kalangan Islam kerap menggunakan hadist diatas untuk menolak dibolehkannya poligami, namun hadits tentang kejadian yang sama dalam versi yang lebih lengkap menceritakan bahwa marahnya Muhammad dikarenakan oleh calon yang hendak diperistri Ali adalah putri dari Abu Jahal, salah satu penentang keras Islam saat itu.
“ Abu Yamân meriwayatkan kepada kami dari Syu'aib dari Zuhri dia berkata, Ali ibn Husain meriwayatkan kepadaku bahwa Miswar ibn Makhramah berkata, Sesungguhnya Ali meminang anak perempuan Abu Jahal. Kemudian Fatimah mendengar tentang hal itu lalu kemudian dia datang kepada Rasulullah s.a.w. dan berkata, "Kaummu mengira bahwa kamu tidak marah karena putri-putrimu. Dan ini Ali (ingin) menikahi anak perempuan Abu Jahal." Lalu Rasulullah s.a.w. berdiri, maka dia pun berdiri. Kemudian aku mendengarkan Beliau ketika mengucapkan tasyahhud (seperti pada khutbah) dan berkata, "Amma Ba'd, Aku telah menikahkan Abu Âsh ibn Rabî' kemudian dia berbicara kepadaku dan jujur kepadaku. Dan sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku dan aku tidak senang ada sesuatu yang menyakitinya. Demi Allah, tidak berkumpul anak perempuan Rasulullah s.a.w. dengan anak perempuan musuh Allah pada satu laki-laki." Kemudian Ali meninggalkan pinangannya. ”


Sejarah mencatat bahwa poligami telah ada sebelum datangnya Islam. Berkaitan dengan masalah poligami yang ada pada umat terdahulu, Islam tidak menghapusnya. Islam menjelaskan tujuan puncak dari sebuah perkawinan di mana poligami juga merupakan salah satu kajiannya. Dalam masalah poligami, Islam tidak diam saja membiarkan apa yang telah terjadi dahulu, melainkan seperti biasanya, Islam memberikan beberapa aturan. Syarat-syarat dan batasan-batasan tertentu telah disiapkan. Tentunya, hal itu tidak lain untuk menanggulangi dampak sosial yang bakal terjadi. Dan itu semua karena sang pembuat hukum ini adalah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.

Poligami bukan sekedar sarana untuk menyalurkan syahwat tetapi ada tujuan-tujuan mulia di baliknya yang perlu diperhatikan. Tetapi, memandang masalah poligami tidak boleh lepas dari masalah perkawinan itu sendiri. Apa yang menjadi tujuan sebuah perkawinan juga harus ada pada poligami. Memisahkan masalah poligami dari perkawinan adalah awal terjerumusnya siapa saja yang ingin mengkaji masalah poligami. Tujuan poligami tidak lepas dari tujuan perkawinan. Dan, perkawinan sebagai salah satu perintah Allah tidak lepas dari tujuan penciptaan manusia.

Dengan kondisi yang seperti ini, bila tujuan penciptaan manusia adalah penyembahan kepada-Nya yang akan berakhir pada liqa’ullah, maka salah satu elemen yang dapat menghantarkan manusia mencapai tujuan penciptaannya adalah perkawinan. Itulah mengapa Nabi SAW, dalam hadis masyhurnya, perlu menekankan bahwa ,“An Nikahu sunnati”, perkawinan adalah sunnahku dan barang siapa yang membencinya bukan termasuk ummatku. Maka, bila perkawinan merupakan sebuah unsur yang dapat membantu seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah maka poligami pun demikian.

Perkawinan adalah jembatan bagi pasangan suami dan isteri untuk meraih ketenangan, cinta dan kasih sayang maka poligami juga bertujuan untuk itu. Sebagaimana yang disinggung oleh ayat al-Qur’an:

“Allah menjadikan pasangan untuk kalian dari jenis kalian sendiri; supaya kalian merasakan ketenangan dan menjadikan diantara kalian cinta dan kasih sayang; sesugguhnya yang demikian ini adalah tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir”.

Dua tujuan perkawinan yang telah disebutkan di atas mewakili tujuan-tujuan yang sifatnya non materi. Sedangkan tujuan perkawinan seseorang yang sifatnya materi yang dimensi, berbanding searah dengan jumlah yang melakukannya.

Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana juga memberi beberapa tuntunan mengenai tujuan perkawinan yang sifatnya materi ini. Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan. Namun bukan sembarangan keturunan yang dihasilkan, tetapi keturunan yang dapat menghantarkan mereka (orang tua dan anak) mencapai tujuan tersebut di atas. Allah berfirman, “Dan orang-orang berdoa, Ya Allah! karuniakanlah kami isteri dan anak-anak yang baik dan menyenangkan dan jadikanlah kami pemimpin orang-orang yang beriman.”

Perkawinan juga merupakan sarana untuk mengendalikan dan menyalurkan kebutuhan seks. Perkawinan dapat mencegah perzinahan. Imam Shadiq a.s berkata, “Sesungguhnya orang yang paling dahsyat azabnya pada hari kiamat adalah yang meletakkan nutfahnya dalam rahim yang haram baginya (zina)”. Sebagaimana perkawinan adalah sebuah lembaga yang dapat menyelesaikan banyak masalah sosial, poligami juga demikian.

Kebolehan poligami dalam Islam jangan dipandang sebagai sebuah keharusan. Sebagaimana perkawinan itu sendiri tidak harus (baca: wajib) bagi setiap orang. Boleh jadi kondisi mengharuskan seseorang untuk menikah, namun bisa saja bagi orang lain haram dan yang lainnya sunnah, makruh atau sah-sah saja (mubah). Semua tergantung pada kondisi pribadi masing-masing. Poligami pun demikian. Poligami dalam Islam tidak disyariatkan untuk semua orang. Hukum poligami disiapkan oleh Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana untuk menanggulangi beberapa masalah yang ditemui oleh pasangan suami isteri dalam perkawinannya atau karena ada tujuan-tujuan lebih penting lainnya. Sebagaimana hal itu dengan gamblang disebutkan pada awal ayat yang membolehkan berpoligami.

Sekalipun kedua syarat di atas (adanya problem dalam rumah tangga baik dari sisi suami atau wanita dan guna meraih tujuan mulia lainnya) telah dimiliki oleh seseorang, bukan berarti ia langsung bisa melakukan poligami begitu saja. Ada satu hal penting yang harus dimiliki seorang suami. Dan, itu adalah siap untuk berlaku adil. Sebagaimana disebutkan
pada akhir ayat tiga surat an-Nisa’,
”...Bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka seyogyanya beristeri tidak lebih dari satu ....”

Syarat terakhir (berlaku adil) yang diberlakukan oleh Allah bukan untuk memberatkan apalagi mengharamkan masalah poligami, namun itu lebih nyata pada dampak sosial yang akan terjadi bila seorang suami tidak berlaku adil kepada isteri-isterinya. Terlebih-lebih ayat tersebut berkaitan erat dengan pengasuhan anak yatim yang setelah ditinggal ayahnya, ia masih harus menerima perlakuan tidak adil dan itu tentunya akan diwarisinya. Artinya generasi yang akan dihasilkan bukan yang baik dan menyenangkan dan bisa mendoakan orang tuanya tetapi malah sebaliknya. Tentu ini bertolak belakang dengan tujuan perkawinan tadi. Terlebih-lebih isteri dan anak adalah amanat Ilahi yang perlu dijaga dan tidak boleh dibiarkan rusak. Syarat harus berlaku adil adalah untuk membantu suami agar dapat menjaga amanat Ilahi dengan lebih baik.

Dalam poligami tidak ada masalah yang sulit sebagaimana yang dibayangkan banyak orang. Masalah poligami kembali pada penerapannya. Kesiapan seorang suami dituntut sebelum melakukan poligami, sama seperti kesiapan calon suami isteri untuk melakukan perkawinan. Semua perbedaan-perbedaan yang ada dibicarakan untuk ditanggulangi di kemudian hari. Dalam melakukan poligami paling sedikit ada tiga orang yang berperan penting. Pertama, suami kemudian isteri pertama dan terakhir isteri kedua, begitu seterusnya sampai isteri kempat. Namun yang paling berperan adalah sang suami.

Berbicara mengenai penerapan poligami dapat ditinjau dari berbagai sudut, namun dengan tidak melupakan tiga syarat di atas. Tanpa mengindahkan ketiga syarat di atas, memang seseorang masih saja dapat melakukan poligami. Hal itu dikarenakan tidak adanya teks-teks agama yang mengharamkannya. Namun, hal itu akan memiliki dampak negatif yang luas:

Pertama, orang akan memandang Islam mensyariatkan sesuatu yang malah memiliki akibat berbeda dari yang diinginkan. Inginnya memberi petunjuk namun malah membuat banyak orang memandang negatif kepadanya. Kedua, wanita-wanita yang menjadi “korban” poligami akhirnya membenci aturan syariat agama.

Kedua, hal inilah yang paling mendasar bagi mereka yang tidak meyakini atau sekurang-kurangnya tidak menerima hukum poligami. Benar, yang menanggungnya kedua-duanya adalah wanita. Akhirnya, poligami bukan hanya tidak memiliki tujuan-tujuan mulia bahkan isinya, kata sebagian orang, hanya dehumanisasi wanita.

Satu hal yang sering terlupakan adalah penerapan yang akhirnya menimbulkan dampak negatif ini (baca: salah) disikapi sebagai pandangan Islam juga. Padahal, penerapan yang ada biasanya hanya mengambil halalnya saja, sementara syarat-syarat dan aturan-aturannya tidak pernah diperhatikan. Lebih dari itu, sebenarnya penerapan poligami lebih didominasi oleh budaya masyarakat setempat. Islam memiliki tuntunan-tuntunan berkaitan dengan poligami dan tidak hanya tiga syarat penting di atas. Namun ini tidak pernah diperhatikan dengan baik oleh mereka yang akan melakukan poligami. Dan di sisi lain, terdapat kelemahan ulama dalam mensosialisasikan masalah ini kepada masyarakat. Akan tetapi, ini bukan menjadi bukti bahwa penyelewengan yang dilakukan atas nama poligami semuanya bersumber dari Islam.

Beberapa alasan dikemukakan berkenaan dengan penolakan akan poligami. Namun, ada beberapa kritikan yang bisa menjadi titik temu beberapa alasan sekaligus :

1. Dari sisi dalil: ayat al-Qur’an dan hadis menyatakan bahwa poligami dilarang dan bukan sunnah Nabi.
2. Dari sisi sejarah: telah terjadi lembaran-lembaran hitam bahwa wanita menjadi korban dan budak nafsu kaum laki-laki pelaku poligami.
3. Dari sisi kesejahteraan: poligami penyebab terlantarnya istri tua dan anak-anak yang pada akhirnya menambah jumlah keluarga broken home.

Al-Qur’an menyebutkan, “Nikahilah sebagian dari perempuan yang sesuai bagi kalian; dua, tiga atau empat”. Sebagian orang mengatakan bahwa poligami bukanlah sunnah Nabi dan dilarang oleh al-Qur’an. Dalil mereka adalah dengan menggabungkan ayat 3 dan 129 surat an-Nisa, “Jika kalian takut tidak bisa berbuat adil maka cukup satu isteri saja” dan ayat berikutnya yang mengatakan, “sama sekali kalian tidak akan bisa berbuat adil”. Karena ayat yang pertama menyatakan bolehnya berpoligami dengan syarat menjaga keadilan di antara istri-istri, sementara ayat kedua menunjukkan bahwa tidak ada kemungkinan bagi suami untuk menjaga keadilan di antara para isteri, maka kesimpulan dari penggabungan dua ayat ini adalah pelarangan poligami.

Jelas bahwa penggabungan dua ayat dengan bentuk semacam ini hasilnya tidak lain kecuali hanya menggeserkan ayat-ayat al-Qur’an. Bagaimana mungkin dari satu sisi Allah mengizinkan manusia untuk berpoligami dengan mensyaratkan berbuat adil di antara para isterinya dan dari sisi lain mengatakan bahwa: kalian sama sekali tidak akan bisa berbuat adil, otomatis hasilnya adalah poligami dilarang. Perkataan manusia biasa saja tidak bisa kita terima apalagi perkataan Allah yang maha fasih dan tinggi bahasanya.

Allah dalam memberikan taklif (wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah) kepada hamba-Nya senantiasa berdasarkan hikmah-Nya. Allah tidak menugaskan seseorang kecuali berdasarkan kemampuannya (al-Baqarah: 286). Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang dimaksudkan Allah, ketika kita menggabungkan dua ayat ini, kita harus melihat kalimat akhir ayat 129 surat an-Nisa, sehingga jelas keadilan apa yang diminta oleh Allah dari laki-laki yang mau berpoligami. Akhir ayat 129 mengatakan, “ wa lan tastatiu an ta’dilu bain annisai wa lau harastum” yakni, “kalian tidak akan pernah bisa berbuat adil di antara isteri-isteri kalian.”

Ayat ini menunjukkan pada keadilan yang tidak mungkin bisa dilakukan artinya menjaga persamaan secara mutlak di antara para isteri dan itu tidak mungkin terjadi. Karena itu keadilan dalam berpoligami ini ada dua macam :

Pertama, keadilan secara hukum (qanun) seperti memenuhi kebutuhan materi dan ini mungkin dapat dilakukan.

Kedua, keadilan menjaga persamaan secara mutlak di antara para isteri dalam hal cinta dan kasih sayang. Dan ini tidak mungkin bisa dilakukan, karena hal ini di luar ikhtiar manusia. Karena wajar saja kalau perbedaan dalam mencintai dan menyayangi seseorang akan menyebabkan perbedaan juga dalam memperlakukannya.

Dengan demikian, bila seseorang memiliki isteri lebih dari satu dan dia ingin memperlakukan semua isterinya dengan sama, baik dalam memenuhi kebutuhan materi maupun batin di antara mereka, hal ini tidak mungkin terjadi. Karena semua orang tidak ada yang memiliki kesamaan antara satu dengan lainnya. Boleh jadi yang satu lebih cantik dan yang lain agak jelek, atau yang satu lebih muda dan yang lain lebih tua, yang satu lebih menarik dan yang lain tidak menarik dan perbedaan-perbedaan lain yang ada pada setiap istri.

Perbedaan yang ada pada setiap istri inilah yang dengan sendirinya akan menyebabkan perbedaan derajat cinta suami terhadap mereka. Dan perbedaan rasa cinta ini jugalah yang dengan sendirinya akan mempengaruhi perlakuan lahiriah suami terhadap mereka. Allah tidak menginginkan keadilan yang semacam ini (dari sisi batin seperti cinta dan kasih sayang) dari hamba-Nya untuk menjaganya secara sama karena hal ini tidak mungkin. Tetapi yang diinginkan Allah adalah suami jangan sampai berlebihan dalam memperhatikan kebutuhan salah satu dari para isteri sementara dia tidak menghiraukan yang lainnya, hingga isteri yang diabaikan kelihatan bukan sebagai istrinya. Dan jangan sampai terjadi salah satu dari istrinya merasa tidak mendapatkan keadilan dari suaminya, sekalipun itu kebutuhan materi. Inilah yang bisa kita pahami dari ayat “wa lan tastatiu an ta’dilu bainan nisai wa lau harastum fa la tamilu kul almaili fatadzaruha ka al mu’allaqah”.

Untuk mencerahkan pemikiran sebagian orang yang mengatakan bahwa wanita menjadi korban dan budak nafsu kaum laki-laki pelaku poligami, dapat dikatakan bahwa penetapan hukum poligami dalam Islam tidak berlaku untuk setiap laki-laki, melainkan bagi mereka yang sudah mempertimbangkan apakah kalau dia melakukan poligami tidak menyebabkan munculnya keburukan bagi keluarga maupun masyarakat. Bahkan dengan berpoligami justru mendatangkan kebaikan dan rahmat bagi keluarga dan masyarakatnya.

Kebaikan hukum poligami kembalinya pada kehidupan masyarakat. Batasan-batasan dan ketentuan yang ditetapkan juga dengan tujuan mencegah terjadinya keburukan yang sudah dipertimbangkan sebelumnya. Dengan demikian praktek poligami bisa dilakukan oleh orang yang meyakini bahwa dirinya mampu menjaga keadilan di antara isteri-isterinya. Ketika seorang laki-laki berkeyakinan bahwa dirinya mampu menjalankan syarat-syarat poligami dan memiliki sarana untuk melakukannya, maka dialah salah satu dari orang yang diizinkan oleh agama untuk berpoligami. Sebaliknya orang yang hanya memikirkan kebutuhan pribadinya tanpa melihat kebaikan dan keburukan keluarganya, hanya sibuk memenuhi kebutuhan seksnya dan berpikir bahwa perempuan hanya sebagai sarana dan alat untuk memenuhi syahwat laki-laki, maka Islam tidak mengizinkan orang semacam ini untuk berpoligami.

Yang sangat disesalkan adalah adanya praktek-praktek poligami yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Islam setelah terjadinya perubahan sistem pemerintahan agamis menjadi sitem pemerintahan dinasti. Pengalaman semacam ini lalu dinisbatkan kepada Islam. Sementara Islam tidak membenarkan praktek mereka. Yang harus diperhatikan di sini adalah bahwa undang-undang dan hukum Islam dari sisi dasar dan metode sangat berbeda dengan undang-undang yang ada di kalangan masyarakat.

Undang-undang sosial yang ada pada masyarakat tertentu bisa berubah bersamaan dengan perubahan waktu dan bergantung dengan kebutuhan mereka sedangkan undang-undang Islam (wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah) selamanya tidak akan berubah. Sekaitan dengan hukum mubah seseorang bisa meninggalkannya atau mengerjakannya. Kalau seseorang ingin berpoligami dengan dasar kebaikan, artinya dia tidak merubah hukum poligami. Karena poligami itu hukumnya mubah maka seseorang bisa meninggalkannya.

Dengan demikian karena hukum poligami dibolehkan bukan berarti harus dilakukan bahkan boleh juga untuk ditinggalkannya. Tetapi, walaupun Islam yang menetapkan hukum poligami, jika terjadi pelecehan terhadap kaum perempuan, itu bukan berarti Islam yang salah. Tapi karena penerapan yang salah, yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mendapatkan izin dari Islam untuk berpoligami. Sebagaimana dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-hari keluarga poligami, sering terjadi istri tua tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari suami dan anak-anak juga tidak mendapatkan kasih sayang dan pendidikan yang cukup dari ayahnya. Hal inilah yang menjadi masalah dan kekhawatiran kaum perempuan dan orang-orang yang kontra poligami.

Masalah ini juga kembalinya kepada pribadi-pribadi yang tidak memiliki syarat untuk berpoligami. Yang terpenting adalah bagaimana menyelesaikan masalah mereka. Tentu saja harus dilihat apakah problem yang terjadi ada kaitannya dengan hukum (undang-undang) atau dengan moral. Kalau problem yang terjadi ada kaitannya dengan hukum seperti : isteri tidak mendapatkan haknya secara layak, maka dia bisa mengadukan masalahnya kepada pengadilan. Namun bila kasusnya berkaitan dengan moral bisa diselesaikan secara kekeluargaan.

Dengan demikian maka jelaslah bahwa poligami bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan sebagaimana sebagian orang merasa ketakutan dengan poligami, khususnya kaum perempuan, yang menjadi korban dan budak nafsu kaum laki-laki pelaku poligami. Tentu saja harus dilihat juga bahwa di antara perempuan-perempuan yang dimadu, sering muncul penyakit hasud dan cemburu sesama mereka sendiri secara berlebihan dan pada akhirnya menimbulkan ketidakharmonisan dengan suami dan keterlantaran anak-anak. Hal ini dapat timbul karena sikap suami yang tidak menjaga keadilan sesama mereka.

Konklusinya adalah semua harus saling sadar bahwa hidup ini sebagai jembatan untuk mencapai pada kesempurnaan, sehingga masing-masing bisa memacu yang lain untuk bisa sampai pada kesempurnaan. Jika ini terjadi pada keluarga poligami maka keluarga ini merupakan sebuah contoh sempurna dari “rumahku adalah surgaku”.


Karena pada hakekatnya, sesungguhnya Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan selalu terjun dalam suatu realita, mendidik dan menjauhkan dari sikap teledor dan bermalas-malas. Hal ini berhubungan dengan poligami.
Dengan menitikberatkan demi kepentingan manusia, baik secara individual maupun masyarakat, Islam membolehkan kawin lebih dari seorang.
Kebanyakan ummat-ummat dahulu dan agama-agama sebelum Islam membolehkan kawin tanpa batas yang kadang-kadang sampai sepuluh orang wanita, bahkan ada yang sampai seratus dan beratus-ratus tanpa suatu syarat dan ikatan. Maka setelah Islam datang, perkawinan lebih dari seorang ini diberinya batas dan bersyarat. Batas maksimalnya ialah empat, seperti riwayatnya Ghailan:
"Sesungguhnya Ghailan ats-Tsaqafi telah masuk Islam dan mempunyai sepuluh isteri, kemudian Nabi berkata kepadanya: Pilihlah empat di antara mereka itu, dan cerailah yang lain." (Riwayat Ahmad, Syafi'i, Tarmizi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Daraquthni dan Baihaqi)

Sementara ada juga yang mempunyai isteri delapan dan ada juga yang lima. Semuanya itu diperintahkan oleh Nabi supaya memilih empat saja.
Adapun kawinnya Nabi sampai sembilan orang itu adalah khususiyah buat Nabi karena ada suatu motif da'wah dan demi memenuhi kepentingan ummat kepada isteri-isteri Nabi itu sepeninggal beliau.

No comments:

Post a Comment

Blog ini masih butuh saran dan kritik.
Oleh karena itu dimohonkan kepada siapa saja yang bersedia untuk memberikan komentar, baik berupa saran maupun kritik yang membangun untuk blog ini.
Terimakasih.